Pages

Minggu, 17 Oktober 2010

Catatan Pembuka Sebuah Catatan

Gw cuman orang biasa.
Orang yang bener-bener biasa lebih tepatnya.
Iya. Bener-bener biasa emang mencerminkan gw banget. Cuman orang biasa yang anda bakal lihat di jalan lagi naik motor sambil nyanyi-nyanyi (beruntunglah suaranya ga kedengeran gara-gara ketiup angin. Mengingat suara gw yang gak seindah suara pak Presiden kita yang terhormat).  Orang biasa yang biasa anda liat lagi makan tahu-tempe di warteg. Orang yang biasa anda lihat ditipu sama politikus dengan janji-janjinya (maklum, pendidikan politik yang gw dapet selama gw sekolah dari SD sampai SMA kacrut banget. Ditambah dengan kemampuan otak gw yang lebih kacrut lagi)
Sekali lagi emang bener-bener orang yang biasa banget.
Pas diterima di salah satu universitas yang (katanya) ternama di daerah depok aja gw udah berencana jadi mahasiswa yang biasa-biasa aja (jangan ditiru oleh siapapun juga. Apalagi anda calon politikus yang berencana jadi politikus yang biasa-biasa aja. Kata biasa di kamus para politikus kita adalah: ingkar janji, tidur di rapat, bolos dan lainnya). Berencana gak bakalan ikut demo-demo, gak bakalan ikut organisasi, dan gak bakalan rajin nulis-nulis. Rencana gw adalah menjadi mahasiswa yang sesuai semboyan Buku, Pesta, dan Cinta secara harafiah. Oke, mungkin buku gak termasuk dalam rencana gw.
Bener-bener biasa kan?
Selama masa peralihan dari tingkatan SMA ke tingkatan Perguruan Tinggi, gw makin menjadi orang yang benar-benar biasa. Kerjaan gw cuma tidur, makan, nongkrong, terus tidur lagi. Kadang ada hari-hari yang gw lewati dengan tidur doang. Sama aja kaya anggota dewan kita yang terhormat. Yang kerjanya tidur doang di rapat. Ya paling gak sih mereka masih ada kegiatan positif kaya yang namanya studi banding itu (walaupun anggarannya bikin rakyat berpikiran negatif).
Ada yang ganggu pikiran gw.
Menjadi pengangguran adalah hal yang bener-bener memuakkan. Hari-demi hari  yang berlalu kian lama kian mengikis intelektualitas yang ada di kepala. Kebosanan kian lama kian membunuh segala sisi terang pribadi kita. kalo ada tingkatan kesengsaraan, mungkin menganggur udah level dewa. Mungkin Cuma kalah satu tingkat doang dari kesengsaraan menjadi masyarakat yang negaranya diurusi oleh bajingan-bajingan oportunis yang Cuma memikirkan kekayaannya sendiri (anda tau sendiri negara mana).
Tapi mendadak ada lagi yang lebih mengusik pikiran gw.
Pagi-pagi itu gw liat berita di televisi. Menurut seorang pejabat, yang pendapatnya ini (katanya) berdasarkan hasil sensus (ya, otak gw memang kacrut. Omongan pejabat aja masih gw percaya), jumlah pengangguran di negara kita makin menurun. Bukan menurun atau meningkatnya yang gw perhatiin, tapi jumlahnya yang masih mencapai jutaan). Tiba-tiba ada aja yang muncul di kepala gw. Tiba-tiba muncul pikiran bahwa masih ada jutaan orang lagi yang sengsara kaya gw waktu itu. Tapi gw adalah yang beruntung. Mereka harus berpikir keras memutar otak untuk makan. Sementara gw kalau mau makan tinggal buka tudung saji. Mereka juga sudah pasti, sadar atau tidak, dibebani tekanan menjadi seseorang di usia produktif tapi belum bisa mendapatkan pekerjaan tetap. Semua tekanan tersebut lambat laun akan membunuh mereka dari dalam. Akhir kata, bisa disimpulkan bahwa pikiran gw tentang menjadi pengangguran ini mebangkitkan gw dari lubang gw ke-sangatbiasa-an gw. Status gw berubah menjadi orang biasa yang mulai (sangat) sedikit peduli.
Belum selesai kegalauan (Abg banget) gw tentang pengangguran, muncul sebuah wacana tentang pembangunan gedung baru bagi anggota DPR. Kata mereka, gedung mereka miring beberapa derajat (walaupun menurut kabar burung, otak merekalah yang sebenarnya miring. Gatau deh burung siapa itu). Tapi yang lebih mengejutkan adalah anggaran yang mencapai angka triliunan. Tentu saja angka itu buat gw yang orang biasa, yang megang duit seratus ribuan aja udah semaput, sama sekali luar biasa.
Ada yang lebih luar biasa lagi daripada itu rupanya. Ternyata di gedung itu bakal dibangun Spa, Gym, dan juga kolam renang. Ditambah lagi luas ruang kantor satu orang yang bisa bikin orang hilang ingatan.  Gw sendiri waktu denger itu berita itu langsung cari cotton buds. Hebat, sampai gw yang statusnya adalah orang-biasa-yang-sedikit-peduli marah-marah sendiri.
Protes mengalir deras kaya arus kali ciliwung yang bikin Jakarta banjir setiap tahunnya. Dari golongan mahasiswa sampai masyarakat umum. Herannya, wacana ini dibela mati-matian sama anggota DPR yang katanya perwakilan rakyat. Bahkan dibela habis-habisan sama salah satu anggotanya yang  dulu angkatan reformasi, yang dulu tereak-tereak membela rakyat, yang dulu diculik karena kritiknya yang pedas kepada orde baru demi rakyat (anda tahulah siapa). Lucunya mereka bilang bahwa kolam renang tersebut dibangun demi memadamkan api jika saja terjadi kebakaran di gedung tersebut. Bagi gw, ini pernyataan bener-bener konyol. Mereka bener-bener ngerendahin masyarakat yang mereka kira bakal percaya sama pernyataan itu. Semua orang juga tau ada sistem pemadaman api yang lebih efektif daripada sebuah sistem yang namanya ngambil-air-dari-kolam renang-buat-madamin-api. Itu sih bukan pernyataan namanya, itu sih namanya lelucon.
Katanya mereka wakil rakyat, tapi mereka kaya gak mikirin keadaan rakyatnya. Ngebangun gedung buat ngeganti gedung mereka yang (katanya) cuma miring beberapa inchi sementara di pelosok sana banyak pelajar yang belajar sambil ketakutan karena usia bangunan sekolah mereka yang bisa aja roboh kapan aja tanpa adanya peringatan. Mereka ngebangun ruang kantor yang luas dan megah tanpa peduli bahwa gak begitu jauh dari mereka banyak orang-orang yang terpaksa tidur di dalam gerobak sampah mereka. Tapi kalau masalah kolam renang dan spa mungkin ga apa-apa. Toh rakyat sudah punya kolam renang yang muncul setiap tahunnya di jakarta dan alat transportasi yang bisa membakar kalori dengan sangat efektif sebagai pengganti spa.
Gw ganti lagi rencana gw. Mungkin gw tetep ga bakal jadi mahasiswa tangguh yang turun ke jalan demi rakyat. Mungkin gw juga ga bakal jadi mahasiswa-mahasiswa kritis yang tulisannya bisa mengubah Indonesia. Mungkin gw juga ga bakal jadi mahasiswa yang bisa bikin Soe Hok-Gie bangga di alam keabadiaannya.
Gw mau jadi mahasiswa biasa,
Yang bisa lebih peduli dan peka
And Here it is,
A note about me,
And About My country,

Tangerang, 17 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar